Sabtu, 26 Desember 2015

Matrik BCG dan contoh studi kasus dalam suatu produk


Matriks Boston Consulting Group (BCG)
Mengkombinasikan pemikiran yang sedang berkembang ke dalam bentuk matrik sederhana, yang memiliki implikasi besar bagi perusahaan, khususnya dalam hal aliran kas (cash flow). Laba tidak selalu menjadi indikator yang tepat bagi kinerja portofolio, karena laba sering tidak mecerminkan perubahan dalam aset cair perusahaan seperti persediaan, peralatan modal, atau piutang, dan dengan demikian tidak memberikan gambaran yang benar untuk pengmbangan di masa depan.
Misalnya, jika perusahaan A memiliki pangsa pasar 20 persen dan pesaing terbesarnya juga memiliki pangsa pasar 20 persen, posisi ini biasanya kurang menyenangkan ketimbang jika pangsa pasar perusahaan A sebesar 20 persen dan pesaingnya terbesarnya hanya 10 persen. Rasio relatifnya adalah 1:1  dibandingkan dengan 2:1 Rasio ini, atau ukuran dominasi pasar (measure of market  dominance), diukur di sepanjang sumbu horisontal (Tampilan 1).
Tampilan 1. Matriks Portofolio Produk Boston Consulting Group

Definisi dari pangsa pasar relatif yang tinggi adalah jika rasionya sama dengan atau lebih dari satu. Batasan pertumbuhan pasar yang tinggi, sebagai lawan dari rendah, didefinisikan sesuai dengan situasi yang ada dalam industri, tetapi sering diambil angaka 10 persen sebagai standar. Oleh karena itu, tidak ada alasan mengapa garis  pemisah di sumbu vertikal bukan angka nol, atau bahkan angka negatif. Semuanya tergantung pada pertumbuhan atau penurunan industri atau segmen. Kadangkala, dalam suatu pasar yang sangat umum, tingkat pertumbuhan gross domestic product (GDP) juga dapat digunakan.
Gambar unik yang ditempelkan pada setiap kategori produk memberikan semacam gambaran prospek dari setiap produk di setiap kuadran. Gambar tanda tanya menunjukkan produk yang belum mencapai suatu posisi pasar domianan dan belum menciptakan aliran kas yang tinggi, atau mungkin sebelumnya sebenarnya telah mencapai posisi tersebut, namun saat ini mengalami penurunan.
1.      Produk tanda tanya (question mark)
adalah pengguna kas yang tinggi karena berada dalam pasar yang sedang tumbuh.
2.      Bintang (stars)
adalah suatu produk baru yang telah memiliki pangsa pasar yang tinggi dan dapat membiayai diri sendiri.
3.      Sapi perah (cash cows)
adalah pemimpin dalam pasar yang dewasa di mana pertumbuhan yang terjadi sangat kecil, namun stabilitasnya tinggi. Produk sapi perah (cash cow) adalah pencipta kas yang hebat dengan tingkat penggunaan kas yang cenderung sedikit, karena kondisi pasarnya memang tidak membutuhkannya.
4.      Produk dalam kuadran anjing (dogs)
sering tidak memiliki masa depan dan dapat menjadi pemboros kas bagi perusahaan. Kategori ini mungkin merupakan calon yang akan digugurkan, walaupun produk tersebut sering masuk ke dalam suatu kategori yang secara jitu dijelaskan oleh Peter Drucker sebagai “investasi dari ego manajer.”

Tampilan 2. Manajemen Portofolio Produk


Seni dari manajemen portofolio produk (product portofolio management) menjadi semakin jelas. Apa yang perlu Anda lakukan adalah menggunakan kelebihan kas yang diciptakan oleh sapi perah untuk diinvestasikan di kuadran bintang dan pada pilihan-pilihan tertentu dan tanda tanya (Tampilan 2). Matriks BCG dapat digunakan untuk memperkirakan posisi pasar produk Anda, katakan, lima tahun ke depan, jika Anda masih terus berupaya merealisasikan kebijakan yang telah ditetapkan saat ini.

Kerangka kerja tersebut juga menunjukkan alairan sasaran-sasaran pemasaran, seperti “untung mencapai pertumbuhan 10 persen dan pengembalian atasa investasi sebesar 20 persen.” Sasaran yang demikian juga dapat menjadi bumerang. Misalnya, menyatakan pertumbuhan hanya sebesar 10 persen dalam suatu pasar yang bertumbuh besar, misalnya, 15 persen per tahun, merupakan suatu langkah menuju bencana dalam jangka panjang.
Sama halnya dengan mencoba mengejar pertumbuhan yang jauh lebih tinggi dari tingkat akan menyebabkan suatu perang harga dan kekacauan pasar yang tak perlu. Adalah penting juga untuk mengetahui implikasi strategi produk dan pasar yang berbeda serta kebijakan pengembangan produk baru.



Sabtu, 19 Desember 2015

PROFIL WIRAUSAHA SUKSES




Filsa Budi Ambia, berjaya dengan kepiting Kalimantan Timur. (Foto: Detik Finance)
Hari itu, sekitar Februari 2013 Filsa Budi Ambia, 27, tercenung. Uang ditangan tersisa Rp100 ribu, sisa hasil menggadaikan cincin, sementara anaknya menangis minta susu. Apa yang ia lakukan? Dengan modal Rp75.000 ia memulai bisnis peyek yang kini beromzet Rp165 juta per bulan. Bagaimana kisahnya?
Kilas balik hidup Filsa memang penuh perjuangan. Tahun 2007 ia merantau ke Balikpapan, lalu bekerja serabutan antara lain menjadi sopir di perusahaan tambang. Karena gajinya tidak cukup untuk biaya hidup, Filsa memutuskan mengundurkan diri ditahun 2010. Ia kemudian memutuskan untuk memulai usaha kecil-kecilan.
Filsa lalu buka usaha ayam goreng, namun kemudian bangkrut. Berbagai usaha dicoba, termasuk mencoba berbisnis martabak mini franchise. Usaha ini  sempat berkembang sampai memiliki 35 cabang. Namun nasib baik ternyata belum perpihak pada Filsa. Usaha franchisenya juga bangkrut ditahun 2012. Bahkan Filsa mengaku sempat tertipu investasi gadungan senilai Rp 120 juta dan punya utang banyak. Sementara waktu itu Filsa sudah berkeluarga dan memiliki anak.
Ketika ia berada di posisi terpuruk, Filsa kepikiran untuk berjualan peyek. Ia membeli 1 kg daging kepiting lalu diolah sehingga menjadi 20 pcs peyek. Tak diduga peyek buatannya laris terjual dan menghasilkan Rp150 ribu. Pesanan lain berdatangan. Dari situlah awal kebangkitan seorang Filsa hingga kini menjadi seorang wirausahawan yang berhasil.
Lalu kenapa kepiting, bukan yang lain? Mengapa peyek?
Pria asal Banyumas ini ternyata melihat potensi kepiting yang banyak tersedia di Kalimantan Timur. Ia memilih peyek karena ia paham cara pembuatannya. Lagipula Filsa ingin peyek dikenal lebih luas segala kalangan.
“Saya ingin peyek ini naik kelas. Lalu saya pikir nilai tambahnya apa, dengan kemasan biasa tentu nggak cocok. Di Kalimantan itu banyak kepiting, saya pikir tes dulu, lalu penggunaan bumbu saya akurasi dan dikemas menarik lalu diberi ke teman-teman,” kata Filsa sebagaimana dilansir Detik Finance.
Filsa kemudian mengembangkan usahanya dan memberikan sentuhan profesional antara lain dengan kemasan yang baik. Bahan bakunya saat ini sudah mencapai 40 kg untuk menghasilkan sekitar 2.000 pcs peyek per hari. Usaha Filsa juga telah membuka peluang kerja bagi setidaknya 21 pegawainya.
Soal pemasaran, Filsa menyalurkan produknya melalui toko oleh-oleh, ritel modern seperti hipermarket di Kalimantan Timur. Ia juga menjalin kerjasama distribusi ke mitra usaha di Jakarta, Sumatera, Kalimantan, Jawa, hingga Sulawesi. Ekspansi pastilah sudah dalam benaknya untuk menjemput keberhasilan demi keberhasilan.
Melihat kisah hidup yang penuh warna dan perjuangan, tidak heran bila Filsa termasuk salah satu finalis dalam acara tahunan Wirausaha Mandiri 2014.