Kamis, 09 April 2015

PROSPEK PENDEKATAN KEADILAN RESTORATIF DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA DI INDONESIA



Oleh : Dina Aprilianti

BAB I
PENDAHULUAN

 A. Latar Belakang

Mengetahui pilar-pilar ketatanegaraan di Indonesia dalam negara demokrasi yang esensial salah satunya yaitu menyangkut tentang sistem peradilan. Akan tetapi sampai saat ini sistem peradilan di Indonesia masih dihadapkan pada sejumlah masalah walaupun berbagai pembenahan dan/atau perbaikan sudah sering dilakukan. Perbaikan sistem yang sudah pernah dilakukan belumlah memberikan jawaban yang memuaskan bagi para pencari keadilan. Sejumlah masalah yang muncul dalam proses peradilan menunjukkan realitas dari sistem peradilan di Indonesia yang kian karut marut. Sepertihalnya dalam sistem peradilan pidana yang posisinya sedang dalam upaya penyelesaian atau menangani suatu tindak kejahatan yang merupakan pelanggaran hukum positif diharapkan dapat menghukum atau membebaskan seseorang dari ancaman tindak pidana. Akan tetapi dalam sistem peradilan pidana belum dapat dinyatakan adil bagi korban dari suatu tindak kejahatan yang terjadi, kedudukan korban dalam sistem peradilan pidana kurang diperhatikan karena di dalam sistem peradilan pidana cenderung berorientasi pada pelaku dan tindak pidananya sedangkan kedudukan korban kurang diperhatikan.
Lain dari itu dalam kasus-kasus yang akhir-akhir ini marak terjadi telah memperlihatkan pada semua kalangan masyarakat bahwa sistem peradilan pidana di Indonesia masih belum bisa memberikan suatu kepastian hukum yang mengedepankan rasa keadilan bagi semua orang. Hal tersebut bisa kita lihat dan analisis pada kasus seorang nenek-nenek yang mempunyai nama panggilan mbah minah yang didakwa telah mencuri 3 (tiga) buah kakao milik majikannya, yang mana jikalau pada waktu itu Mejelis hakim dalam mengadili mbah minah menjatuhkan hukuman yang sesuai dengan aturan hukum yang berlaku di Indonesia mungkin mbah minah akan mendekam dalam penjara dan hal tersebut dalam kepastian hukumnya sudah tidak lagi mengesampingkan rasa keadilan maupun perikemanusiaan.
Mungkin dalam kasus lain masih banyak contoh dimana memang dalam sistem peradilan pidana di Indonesia masihlah jauh seperti apa yang diharapkan oleh masyarakat indonesia dalam hal menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan dan memberi perlindungan atas hak asasi manusia. Sehingga melihat apa yang telah dipaparkan diatas mengenai sistem peradilan pidana di Indonesia, maka dalam hal ini perlu adanya prospek pendekatan keadilan restoratif (restorative justice). Karena dalam pendekatan keadilan restoratif bisa diasumsikan sebagai pergeseran paling mutakhir dari berbagai model dan mekanisme yang bekerja dalam sistem peradilan pidana dalam menangani perkara-perkara pidana pada saat ini.
Bahwa prospek pendekatan keadilan restoratif merupakan sebuah konsep pemikiran yang merespon pengembangan sistem peradilan pidana dengan menitikberatkan pada kebutuhan pelibatan masyarakat dan/atau korban yang dirasa tersisihkan dengan mekanisme yang bekerja pada sistem peradilan pidana yang ada pada saat ini. Dipihak lain, pendekatan keadilan restoratif juga merupakan suatu kerangka berfikir yang baru yang dapat digunakan dalam merespon suatu tindak pidana bagi penegak dan pekerja hukum di Indonesia.
Penanganan perkara pidana dengan pendekatan keadilan restoratif menawarkan pandangan dan pendekatan berbeda dalam memahami dan menangani suatu tindak pidana. Dalam pandangan keadilan restoratif makna tindak pidana pada dasarnya sama seperti pandangan hukum pidana pada umumnya yaitu serangan terhadap individu dan masyarakat serta hubungan kemasyarakatan. Akan tetapi dalam pendekatan keadilan restoratif, korban utama atas terjadinya suatu tindak pidana bukanlah negara, sebagaimana dalam sistem peradilan pidana yang sekarang ada. Oleh karenanya kejahatan menciptakan kewajiban untuk membenahi rusaknya hubungan akibat terjadinya suatu tindak pidana. Sementara keadilan dimaknai sebagai proses pencarian pemecahan masalah yang terjadi atas suatu perkara pidana dimana keterlibatan korban, masyarakat dan pelaku menjadi penting dalam usahaperbaikan, rekonsiliasi dan penjaminan keberlangsungan usaha perbaikan tersebut.

 B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka penulis merumuskan permasalahan yang menjadi topik pembahasan dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
  1. Bagaimana prospek pendekatan keadilan restoratif bagi masyarakat?
  2. Bagaimana upaya penyelsaian perkara melalui pendekatan keadilan restoratif?
BAB II
PEMBAHASAN
 A. Prospek Pendekatan Keadilan Restoratif Bagi Masyarakat
Peluang untuk melakukan pendekatan terhadap keadilan restoratif sebenarnya merupakan suatu pendekatan yang lebih menitik beratkan pada kondisi terciptanya keadilan dan/atau keseimbangan bagi masyarakat. Keadilan restoratif merupakan sebuah pendekatan untuk membuat pemindahan dan pelembagaan menjadi sesuai dengan keadilan. Di dalam rumusan sila kedua dan sila kelima Pancasila, terdapat kata “keadilan” yang menunjukkan bahwa memang keadilan itu harus ditegakkan dan dijunjung tinggi. Penegakan keadilan dalam kehidupan bermasyarakat memiliki arti penting dalam salah satu upaya membangun peradaban bangsa yang tinggi dan bermartabat. Tidak akan maju peradaban dari suatu bangsa apabila tidak didasarkan atas peri kehidupan berkeadilan. Disinilah hukum berfungsi sebagai pelindung kepentingan manusia, menciptakan ketertiban dan keseimbangan sehingga tercapailah keadilan yang diharapkan.
Keadilan restoratif (Restorative Justice) dapat diartikan sebagai pemulihan keadilan bagi korban dan pelaku tindak pidana. Pengertian ini berkembang setelah dimasukkan dalam sistem peradilan pidana, sehingga pengertiannya menjadi proses penyelesaian yang sistematis atas tindak pidana yang menekankan pada pemulihan atas kerugian korban dan atau masyarakat sebagai akibat perbuatan pelaku. Dalam proses penyelesaian ini melibatkan korban dan pelaku secara langsung dan aktif. Menurut Artidjo Alkostar, Restorative justice adalah “metode pemulihan yang melibatkan pelaku kejahatan, korban dan komunitasnya di dalam proses pemidanaan dengan memberi kesempatan kepada pelaku untuk menyadari kesalahannya dan bertobat sehingga pelaku dapat kembali kedalam kehidupan komunitasnya kembali”[1]. Dalam penegakan keadilan belum mencapai cita-cita keadilan bagi para pihak, terutama korban dari suatu tindak kejahatan. Kegagalan menegakkan keadilan disebabkan oleh beberapa hal:
  1. Perlakuan yang tidak adil, beberapa perlakuan tersebut diantaranya penahanan dan penangkapan tanpa alasan kuat, pemaksaan pengakuan, pemalsuan bukti-bukti forensik, pembelaan hukum oleh para penasehat hukum dibawah standar profesi, atau kesesatan hakim yang terlanjur membebaskan terdakwa karena kesalahan teknis.
  2. Peraturan hukum yang tidak adil, semata-mata demi kepastian hukum
  3. Tindakan adanya pembenaran faktual dalam penerapan pidana dan tindakan akibat kesalahan identitas atau pemidanaan terhadap orang yang tidak bersalah, akibat kesalahan dalam sistem pembuktian.
  4. Perlakuan yang merugikan dan tidak proposional terhadap tersangka, terdakwa, dan terpidana, dibandingkan dengan kebutuhan untuk melindungi hak-hak orang lain.
  5. Hak-hak orang lain tidak dilindungi secara efektif dan proposional oleh negara.
  6. Perlakuan tidak adil terhadap korban akibat hukum yang tidak kondusif[2].
Keadilan restoratif (restorative justice) itu sendiri memiliki makna keadilan yang merestorasi. Di dalam proses peradilan pidana konvensional dikenal adanya restitusi atau ganti rugi terhadap korban, sedangkan restorasi memiliki makna yang lebih luas. Restorasi meliputi pemulihan hubungan antara pihak korban dan pelaku. Pemulihan hubungan ini bisa didasarkan atas kesepakatan bersama antara korban dan pelaku. Pihak korban dapat menyampaikan mengenai kerugian yang dideritanya dan pelaku pun diberi kesempatan untuk menebusnya, melalui mekanisme ganti rugi, perdamaian, kerja sosial, maupun kesepakatan-kesepakatan lainnya. Karena proses pemidanaan konvensional tidak memberikan ruang kepada pihak yang terlibat, dalam hal ini korban dan pelaku untuk berpartisipasi aktif dalam penyelesaian masalah mereka. Setiap indikasi tindak pidana, tanpa memperhitungkan eskalasi perbuatannya, akan terus digulirkan ke ranah penegakan hukum yang hanya menjadi jurisdiksi para penegak hukum. Partisipasi aktif dari masyarakat seakan tidak menjadi penting lagi, semuanya hanya bermuara pada putusan pemidanaan atau punishment tanpa melihat esensi[3].
Tujuan dari keadilan restoratif adalah mendorong terciptanya peradilan yang adil dan mendorong para pihak untuk ikut serta didalamnya. Korban merasa bahwa penderitaannya di perhatikan dan kompensasi yang disepakati seimbang dengan penderitaan dan kerugian yang dideritanya. Pelaku tidak mesti mengalami penderitaan untuk dapat menyadari kesalahannya. Justru dengan kesepakatan untuk mengerti dan memperbaiki kerusakan yang timbul, kesadaran tersebut dapat diperolehnya. Semenntara bagi masyarakat, adanya jaminan keseimbangan dalam kehidupan dan aspirasi yang ada tersalurkan oleh pemerintah. Tujuan utama restorative justice adalah memberdayakan korban, dimana pelaku didorong agar memperhatiakan pemulihan. Keadilan restoratif mementingkan terpenuhinya kebutuhan material, emosional, dan sosial sang korban. Keberhasilan keadilan restoratif, diukur oleh sebesar apa kerugian yang telah dipulihkan pelaku, bukan diukur oleh seberat apa pidana yang dijatuhkan hakim. Intinya, sedapat mungkin pelaku dikeluarkan dari proses pidana dan dari penjara[4].
Munculnya sebuah ide restorative justice sebagai kritik atas penerapan sistem peradilan pidana dengan pemenjaraan yang dianggap tidak efektif menyelesaikan konflik sosial. Penyebabnya, pihak yang terlibat dalam konflik tersebut tidak dilibatkan dalam penyelesaian konflik. Korban tetap saja menjadi korban, pelaku yang dipenjara juga memunculkan persoalan baru bagi keluarga dan sebagainya. Ciri yang menonjol dari restorative justice, kejahatan ditempatkan sebagai gejala yang menjadi bagian tindakan sosial dan bukan sekadar pelanggaran hukum pidana. Kejahatan dipandang sebagai tindakan yang merugikan orang dan merusak hubungan sosial. Berbeda dengan hukum pidana yang telah menarik kejahatan sebagai masalah negara. Hanya negara yang berhak menghukum, meskipun sebenarnya komunitas adat bisa saja memberikan sanksi. Sistem pemenjaraan sebagai pelampiasan kebencian masyarakat yang diterima dan dijalankan negara. Munculnya ide restorative justice karena proses pidana belum memberikan keadilan pada korban. Usaha ke arah restorative justice sebenarnya sudah ada di lembaga pemasyarakatan, meskipun masih belum menonjol. Penerapan itu misalnya, menempatkan masa pembinaan sebagai ajang menyetarakan kembali hubungan narapidana dan korban[5].
Proses keadilan restoratif pada dasarnya merupakan upaya pengalihan dari proses peradilan pidana menuju penyelesaian secara musyawarah, yang pada dasarnya merupakan jiwa dari bangsa Indonesia, untuk menyelesaikan permasalahan dengan cara kekeluargaan untuk mencapai mufakat. Keadilan restoratif merupakan langkah pengembangan upaya non-penahanan dan langkah berbasis masyarakat bagi anak yang berhadapan dengan hukum. Keadilan restoratif dapat menggali nilai-nilai dan praktek-praktek positif yang ada di masyarakat yang sejalan dengan penegakan hak asasi manusia. Pendekatan keadilan restoratif dalam penanganan tindak pidana juga bertujuan untuk menghindarkan pelakunya dari proses pemidanaan yang terkadang dirasakan belum dapat mencerminkan nilai-nilai keadilan. Dalam upaya penegakan hukum pidana, semestinya bukan hanya akibat tindak pidana itu yang menjadi fokus perhatian, tetapi satu hal penting yang tidak boleh diabaikan adalah faktor yang menyebabkan seseorang melakukan tindak pidana. Sasaran dari proses peradilan pidana menurut perspektif keadilan restoratif adalah menuntut pertanggung jawaban pelanggar terhadap perbuatan dan akibat-akibatnya, yakni bagaimana merestorasi penderitaan orang yang terlanggar haknya (korban) seperti pada posisi sebelum pelanggaran dilakukan atau kerugian terjadi, baik aspek materiil maupun aspek immateriil.
B. Upaya Penyelsaian Perkara Melalui Pendekatan Keadilan Restoratif
Proses penyelesaian perkara, keadilan restoratif tidak lagi menggunakan cara-cara konvensional yang selama ini digunakan dalam sistem peradilan pidana, yang hanya berfokus pada mencari siapa yang benar dan siapa yang salah, serta mencari hukuman apa yang pantas diberikan kepada pihak yang bersalah tersebut. Sementara dalam penyelesaian perkara melalui restorative justice bukan lagi kedua hal tersebut, yang diinginkan oleh restorative justice adalah sebuah pemulihan terhadap pelaku agar ia tidak lagi melakukan kejahatan, pemulihan turut pula ditujukan kepada korban sebagai pihak yang dirugikan serta hubungan antar korban, pelaku serta masyarakat agar jalannya kehidupan dapat kembali seperti semula. Keadilan Restoratif, melibatkan kedua pihak yaitu korban dan pelaku dan berfokus pada kebutuhan pribadi mereka. Selain itu, juga memberikan suatu bentuk bantuan bagi pelaku untuk menghindari pelanggaran di masa depan. Hal ini didasarkan pada sebuah teori keadilan yang menganggap kejahatan dan pelanggaran menjadi pelanggaran terhadap individu atau masyarakat, bukan negara. Keadilan Restoratif yang mendorong dialog antara korban dan pelaku menunjukkan tingkat tertinggi kepuasan korban dan akuntabilitas pelaku.
Dalam proses acara pidana konvensional misalnya apabila telah terjadi perdamaian antara pelaku dan korban, dan sang korban telah memaafkan sang pelaku, maka hal tersebut tidak akan bisa mempengaruhi kewenangan penegak hukum untuk terus meneruskan perkara tersebut ke ranah pidana yang nantinya berujung pada pemidanaan sang pelaku pidana. Proses formal pidana yang makan waktu lama serta tidak memberikan kepastian bagi pelaku maupun korban tentu tidak serta merta memenuhi maupun memulihkan hubungan antara korban dan pelaku, konsep restorative justice menawarkan proses pemulihan yang melibatkan pelaku dan korban secara langsung dalam penyelesaian masalahnya. Proses pidana konvensional hanya menjadikan korban nantinya sebagai saksi dalam tingkat persidangan yang tidak banyak mempengaruhi putusan pemidanaan, tugas penuntutan tetap diberikan terhadap Jaksa yang hanya menerima berkas-berkas penyidikan untuk selanjutnya diolah menjadi dasar tuntutan pemidanaan, tanpa mengetahui dan mengerti kondisi permasalahan tersebut secara riil, dan sang pelaku berada di kursi pesakitan siap untuk menerima pidana yang akan dijatuhkan kepadanya.
Kewenangan untuk menyampingkan perkara pidana itu sendiri dikenal sebagai perwujudan asas oportunitas yang hanya dimiliki oleh Jaksa Agung. Dalam praktiknya pun sebenarnya di tingkat penyidikan kepolisian sering terbentur dengan tata acara pidana formil apabila hendak mengesampingkan sebuah perkara pidana, diskresi yang dimiliki oleh polisi tidak melingkupi kewenangannya untuk menilai sebuah perkara untuk terus dilanjutkan atau dihentikan, takarannya hanya terbatas pada bukti tindak pidana yang cukup. Apabila ada bukti telah terjadi sebuah tindak pidana, polisi akan terus meneruskan perkara tersebut. Oleh karena itu di dalam RUU KUHAP yang terbaru perlu didorong pendekatan penanganan tindak pidana yang lebih humanis, lebih menekankan dan mendahulukan pendekatan restorative justice dibandingkan pertimbangan legalistik yang formil.
Sasaran akhir konsep peradilan restorative ini mengharapkan berkurangnya jumlah tahanan di dalam penjara; menghapuskan stigma / cap dan mengembalikan pelaku kejahatan menjadi manusia normal, pelaku kejahatan dapat menyadari kesalahannya, sehingga tidak mengulangi perbuatannya serta mengurangi beban kerja polisi, jaksa, rutan, pengadilan, dan lapas; menghemat keuangan negara tidak menimbulkan rasa dendam karena pelaku telah dimaafkan oleh korban, korban cepat mendapatkan ganti kerugian; memberdayakan masyarakat dalam mengatasi kejahatan dan; pengintegrasian kembali pelaku kejahatan dalam masyarakat.
Istilah “penyelesaian di luar pengadilan” umumnya dikenal sebagai kebijakan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum yang memiliki wewenang untuk melakukan beberapa hal sebagai berikut: sebagai penentu keluaran akhir dari suatu kasus sengketa, konflik, pertikaian atau pelanggaran, namun juga memiliki wewenang melakukan diskresi / pengenyampingan perkara pidana yang dilakukan oleh pihak tertentu, dilanjutkan dengan permintaan kepada pelaku / pelanggar agar mengakomodasi kerugian korban. Istilah umum yang populer adalah dilakukannya “perdamaian” dalam perkara pelanggaran hukum pidana.
Keuntungan dari penggunaan “penyelesaian di luar pengadilan” dalam menyelesaikan kasus-kasus pidana adalah bahwa pilihan penyelesaian pada umumnya diserahkan kepada pihak pelaku dan korban. Keuntungan lain yang juga amat menonjol adalah biaya yang murah. Sebagai suatu bentuk pengganti sanksi, pihak pelaku dapat menawarkan kompensasi yang dirundingkan / disepakati dengan pihak korban. Dengan demikian, keadilan menjadi buah dari kesepakatan bersama antar para pihak sendiri, yaitu pihak korban dan pelaku, bukan berdasarkan kalkulasi jaksa dan putusan hakim. Sedangkan kelemahan dari penggunaan “penyelesaian di luar pengadilan”, dapat menjadi sumber penyalahgunaan wewenang dari para penegak hukum, khususnya apabila diskresi dibelokkan menjadi ”komoditi”. Ketidakmauan menghukum juga dapat dipersepsi sebagai melunaknya hukum dimata para pelaku kejahatan atau pelanggar aturan.
 BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian pembahasan diatas dapat disimpulkan, bahwa konsep pendekatan keadilan restoratif sangatlah ideal, implementasi di Indonesia yang harus dilihat ulang. Konsep peradilan dengan pendekatan keadilan restoratif ketika akan diimpelementasikan di Indonesia butuh kesiapan badan atau instansi sebagai perangkat pelaksananya yang menjalankannya termasuk perspektif SDM di dalamnya. Pendekatan keadilan restoratif dilakukan melalui mekanisme diversi, dimana adanya proses upaya perdamaian antara kedua belah pihak antara pelaku dengan korban. Konsep ini sebaiknya tidak diterapkan kepada semua perkara. Setiap perkara memiliki keunikan maka penyelesaiannyapun sebaiknya juga memperhatikan keunikan tersebut.






B. Saran
  1.  
    1. Pendekatan keadilan restoratif dalam sistem peradilan pidana di Indonesia harus mengedepankan KEADILAN BAGI SEMUA. Maka untuk kasus-kasus tertentu (Kekerasan seksual, penyalahgunaan Napza, terorism, dan pembunuhan) sebaiknya diversi dihindari.
    2. Dalam sistem peradilan pidana di Indonesia dalam kepastian hukum haruslah selalu bersandingan dengan rasa keadilan. Karena mengingat asas ada 3 yakni : Kadilan, kepastian hukum dan manfaat.














DAFTAR PUSTAKA
Fitriasih, Surastini, et. all., Akses ke Peradilan, Jakarta, Sentra Ham-KHN, 2002.
Muladi, Hak Asasi Manusia, Politik, dan Sistem Peradilan Pidana, Semarang, BP. Universitas Diponegoro, 2002.
Nasution Ajarotni, 2013, Perlindungan Hak Asasi Manusia dan Restorative Justice, (Online), (http://ajarotninasution.blogspot.com/2013/09/perlindungan-hak-asasi-manusia-dan.html), diakses pada 25 Februari 2015.
Singgih Benedictus, 2012, Keadilan Restoratif Menurut Perspektif Viktimologi, (Online), (http://benedictussinggih.blogspot.com/2012/12/keadilan-restoratif-menurut-perspektif.html), diakses pada 25 Februari 2015.
Tengens Jecky, 2011, Pendekatan Restorative Justice dalam Sistem Pidana Indonesia, (Online),(http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4e25360a422c2/pendekatan-irestorative-justice-i-dalam-sistem-pidana-indonesia-broleh–jecky-tengens–sh-), diakses pada 25 Februari 2015.
Utomo Setyo, Sistem Pemidanaan Dalam Hukum Pidana Yang Berbasis Restorative Justice, (makalah disampaikan dalam kegiatan Focus Group Discussion (FGD) tentang “POLITIK PERUMUSAN ANCAMAN PIDANA DALAM UNDANG-UNDANG DILUAR KUHP”, diselenggarakan oleh Pusat Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Departement Hukum dan HAM) Jakarta, 2010.
[1] Nasution Ajarotni, 2013, Perlindungan Hak Asasi Manusia dan Restorative Justice, (Online),(http://ajarotninasution.blogspot.com/2013/09/perlindungan-hak-asasi-manusia-dan.html), diakses pada 25 Februari 2015.
[2] Muladi, Hak Asasi Manusia, Politik, dan Sistem Peradilan Pidana, Semarang, BP. Universitas Diponegoro, 2002, Hlm. 274.
[3] Tengens Jecky, 2011, Pendekatan Restorative Justice dalam Sistem Pidana Indonesia, (Online),(http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4e25360a422c2/pendekatan-irestorative-justice-i-dalam-sistem-pidana-indonesia-broleh–jecky-tengens–sh-), diakses pada 25 Februari 2015.
[4] Singgih Benedictus, 2012, Keadilan Restoratif Menurut Perspektif Viktimologi, (Online), (http://benedictussinggih.blogspot.com/2012/12/keadilan-restoratif-menurut-perspektif.html), diakses pada 25 Februari 2015.
[5] Utomo Setyo, Sistem Pemidanaan Dalam Hukum Pidana Yang Berbasis Restorative Justice, (makalah disampaikan dalam kegiatan Focus Group Discussion (FGD) tentang “POLITIK PERUMUSAN ANCAMAN PIDANA DALAM UNDANG-UNDANG DILUAR KUHP”, diselenggarakan oleh Pusat Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Departement Hukum dan HAM) Jakarta, 2010.

POLITISASI DAN KRIMINALISASI DALAM PENEGAKAN HUKUM DI INDONESIA


09 April 2015
Oleh : Dina Aprilianti        
                                     
BAB I
PENDAHULUAN

 A. Latar Belakang
Pandangan kebanyakan orang selama ini, apabila berbicara soal keadaan kekinian yang menimpa bangsa Indonesia pasca reformasi pastinya akan sangat muak apabila mengetahui persoalan-persoalan politik yang secara tidak langsung menjadi primadona bagi kalangan-kalangan elit pemerintahan di negara kita. Hampir setiap hari persoalan politik bisa kita jumpai dimana-mana. Politik juga dijadikan santapan mewah bagi media – media komersil. Akibatnya, politik menjadi sesuatu yang negatif dimata banyak orang, hal itu mungkin merupakan sesuatu yang sifatnya “ghibah” karena mirip dengan gosip. Seperti halnya mempengaruhi dan menjatuhkan, lawan menjadi kawan, kawan menjadi lawan, itulah yang ada dibenak masyarakat Indonesia sekarang. Dengan adanya pergulatan dalam dunia politik yang kian hari kian masif, maka stabilitas demokrasi di negara kita seperti halnya sebuah permainan yang bisa dimainkan oleh orang-orang yang pandai dalam berpolitik.
Hasil yang dapat dilihat dari proses pergulatan politik yang kian masif, akhirnya muncullah sebuah perbuatan dan/atau tindakan yang sifatnya politis. Politisasi bisa juga merupakan sifat dari tindakan berpolitik, keikut sertaan dalam kegiatan politik atau lobby politik sebenarnya hadir karena adanya suatu motif tertentu. Sepertihalnya keberadaan hukum sebagai produk politik sampai saat ini belum bisa menjadi panglima dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia. Hal tersebut tentunya bisa kita ketahui melalui isu-isu yang berkembang ditengah-tengah kehidupan masyarakat Indonesia saat ini. Banyaknya persoalan yang dihadapi dalam dunia politik seolah-olah masyarakat Indonesia untuk mendapatkan sebuah kemenangan akan menghalalkan segala cara, tidak peduli cara itu benar atau salah.
Dengan adanya tindakan yang membabi-buta dalam berpolitik akhirnya berakibat fatal dan menimbulkan suatu proses kriminalisasi. Dimana suatu perbuatan yang mulanya tidak dianggap sebagai kejahatan, kemudian dengan adanya hukum yang mengatur dan melarang perbuatan tersebut, maka perbuatan itu kemudian menjadi perbuatan jahat. Seperti halnya isu yang sedang berkembang saat ini, munculnya suatu kriminalisasi mungkin berawal dari adanya politisasi yang dimainkan oleh antar individu-individu ataupun kelompok yang mempunyai suatu kepentingan tersendiri. Dengan adanya politisasi yang tidak fair maka dari beberapa kelompok yang mungkin bisa disebut barisan-barisan sakit hati, bisa saja melakukan suatu perbuatan yang mengarah kepada kriminalisasi yang harapannya untu balas dendam dalam menjatuhkan lawan politiknya melalui jalur hukum.
Bisa kita lihat isu-isu yang berkembang pada negara Indonesia, akhir-akhir ini masyarakat seolah-olah disuruh menjadi penonton dalam pertarungan beberapa lembaga negara yang mempunyai wewenang dalam penegakan hukum di Indonesia. Konflik yang terjadi dalam tubuh lembaga hukum yakni salah satu contohnya mengenai konflik 2 (dua) lembaga penegak hukum antara POLRI dan KPK. Konflik tersebut sebenarnya jika diteluuri lebih dalam tidak lagi murni permasalahan yang ada keterkaitannya dengan hukum semata. Munculnya konflik dimaksud pastinya ada keterkaitannya dengan perpolitikan pada tahun 2014 silam. Maka dari itu jika persoalan ini tidak kunjung usai, berarti sudah jelas bahwa memang adanya suatu kriminalisasi itu memang tidak bisa lepas dengan adanya politisasi dikalangan elit semata.
 B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka penulis merumuskan permasalahan yang menjadi topik pembahasan dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
  1. Bagaimana pengertian politisasi dan kriminalisasi?
  2. Bagaimana bentuk politisasi dan kriminalisasi yang terjadi di dalam penegakan hukum di indonesia?
  3. Bagaimana Analisa dan Upaya Pencegahan politisasi dan kriminalisasi yang sudah terjadi di dalam penegakan hukum di Indonesia?
 BAB II
PEMBAHASAN
 A. Pengertian Politisasi dan Kriminalisasi
Kata politisasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), politisasi yan berarti hal membuat keadaan (perbuatan, gagasan, dsb) bersifat politis[1]. Memang kata politisasi umum dipakai dalam arti negatif tapi tidak selamanya politisasi selalu berujung negatif. Kata itu mungkin saja akan lebih lazim diteriakkan ketika pejabat maupun seluruh elit politik sudah dianggap tidak tulus, berusaha mengukuhkan kekuasaan politik diri dengan mengorbankan orang banyak atau menyelewengkan makna sejati suatu situasi yang sebetulnya tidak bernilai politis. Tentu saja si penuduh juga tak luput dari tuduhan balik bahwa mereka sendiri melakukan politisasi dengan cara menuduh orang lain berpolitisasi. Politisasi sendiri diambil persis dengan makna konotatifnya dari kata Inggris politicization. Dalam arti denotatif to politicize adalah menjadikan sadar politik atau menjadikan bersifat politik. Jadi tidak dengan sendirinya buruk negatif, tapi dalam pemakaian umum hampir selalu. Sebelum adanya kata politisasi harus diketahui terlebih dahulu bahwa hal yang mendasar dari politisasi yakni pengertian politik itu sendiri, yang mana sebuah perilaku atau kegiatan-kegiatan yang dilakukan untuk mewujudkan kebijakan-kebijakan dalam tatanan Negara agar dapat merealisasikan cita-cita Negara sesungguhnya, sehingga mampu membangun dan membentuk Negara sesuai rules agar kebahagian bersama didalam masyarakat disebuah Negara tersebut lebih mudah tercapai.
Disampig itu kata kriminalisasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kriminalisasi adalah hukum proses yg memperlihatkan perilaku yg semula tidak dianggap sebagai peristiwa pidana, tetapi kemudian digolongkan sebagai peristiwa pidana oleh masyarakat[2]. Lain dari itu kriminalisasi adalah proses menjadikan perbuatan biasa menjadi perbuatan yang dapat dipidana
kriminalisasi dimulai sejak adanya UU No. 1 Tahun 1946 tentang peraturan hukum pidana kriminalisasi adalah konsekuensi dari asas legalitas pasal 1 (1) KUHP “tiada suatu perbuatan yang dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang – undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan. dalam bahasa latin “Nullum Delictum Nulla Poena  Sine Previa Lege Poenali” Kritetia pengadaan Kriminalisasi yaitu :
  1. harus memperhatikan tujuan hukum pidana
  2. penentuan perbuatan yang tidak dikehendak
  3. prinsip biaya dan hasil
  4. kemampuan aparat hukum[3]
Bahwa dari beberapa uraian mengenai pengertian politisasi dan kriminalisasi yang sudah diuraikan masing-masing diatas jika kita tarik pengertian secara bersama bahwa politisasi dan kriminalisasi secara prinsip sebenarnya sangat berseberangan. Akan tetapi dengan adanya politisasi yang semakin marak dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai kepentingan akan dunia perpolitikan maka bisa saja 2 (dua) hal tersebut saling berkaitan. Karena munculnya suatu tindakan kriminal itu memang sebelumnya tidak terlihat seperti suatu adanya peristiwa pidana, karena dengan adanya suatu perbuatan dalam hal politik yang sudah mengarah ke ranah hal-hal negatif maka kriminalisasi itu akan masuk kedalam sendi-sendi perpolitikan.
B. Bentuk politisasi dan kriminalisasi yang terjadi di dalam penegakan hukum di indonesia
Perlu diketahui bahwa intervensi politik terhadap hukum sudah ada di Indonesia sejak dulu, dalam perjalanannya dari fase ke fase ternyata hukum tidaklah steril dari subsistem kemasyarakatan lainnya. Politik kerap kali melakukan intervensi terhadap hukum[4], sehingga ketika kita melihat sistem ketatanegaraan Indonesia, hukum belumlah bisa dijadikan sebagai panglima. Karena dengan adanya eskalasi politik yang kian masif maka rentan dengan adanya politisasi dan kriminalisasi dalam penegakan hukum diindonesia. Hal itu bisa kita lihat dengan adanya isu-isu yang masih hangat pada tahun 2014-2015, Indonesia sebenarnya telah tejadi perang saudara dikalangan elit. Konflik antara 2 (dua) lembaga negara (POLRI VS KPK) telah menjadi sorotan masyarakat diseluruh Indonesia bahkan menjadi sorotan dunia. Perseteruan dalam dunia politik yang kian semerawut akhirnya perbuatan-perbuatan yang menampakkan suatu peristiwa pidana seperti diada-adakan. Selain itu para penegak-penegak hukum yang terdiri dari Hakim, Jaksa, Polisi dan Advokat sudah sangat jarang sekali mematuhi aturan-aturan yang berlaku. Mereka kebanyakan hari ini ikut berlomba-lomba untuk ikut andil dalam memasifkan politisasi tanpa arah.
Kriminalisasi di Indonesia akhir-akhir ini bisa dibilang semakin bertambah banyak, hal itu bisa dilihat kejahatan-kejahatan yang telah dilakukan dari semua lapisan masyarakat, baik itu masyarakat kalangan bawah maupun masyarakat kalangan elit. Contoh saja sekali lagi mengenai konflik antara KAPOLRI Budi Gunawan yang dituduh telah menerima gratifikasi saat menjabat sebagai Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan. Disamping itu setelah penetapan Budi Gunawan sebagai tersangka oleh KPK, satu minggu kemudian masyarakat dihebohkan lagi dengan adanya berita penangkapan Bambang Widjojanto selaku wakil ketua KPK karena dahulu pada tahun 2010 diduga telah memberi arahan kepada saksi terkait sengketa Pemilu. Dari semenjak KPK menetapkan Budi Gunawan sebagai tersangka dan Penangkapan Bambang Widjojanto masyarakat sudah bisa menilai bahwa konflik yang terjadi dalam penegakan hukum di Indonesia saat ini pastinya ada unsur muatan politik, sehingga perbuatan kriminal yang telah dilakukan calon Kapolri dan Pimpinan KPK ada keterkaitan dengan perpolitikan pada saat suksesi pemilihan Presiden 2014-2019. Memang masyarakat arus bawah jarang sekali yang tahu kenapa tiba-tiba seorang calon Kapolri dituduh melakukan kejahatan tindak pidana korupsi, padahal calon Calon Kapolri yang seharusnya bisa dijadikan sebagai sauri tauladan dalam penegakan hukum malah menyalahi aturan sendiri.
Bahwa bentuk politisasi dan kriminalisasi sudah terlihat jelas atas beberapa uraian-uraian di atas, yang mana adanya politisasi secara skala besarnya hanya berada pada para penguasa elit semata. Dengan adanya hal-hal yang ada keterkaitannya dengan politisasi seperti yang sudah digambarkan melalui beberapa kasus-kasus yang saat ini sedang terjadi, maka politisasi tersebut jika berakibat pada suatu hal yang sifatnya negatif akan terjerumus pada kriminalisasi. Jikalau sudah masuk keranah kriminalisasi maka secara otomatis akan mempengaruhi sistem penegakan hukum di Indonesia. Karena dalam mengacu sistem ketatanegaraan di Indonesia jikalau hukum masih selalu diintervensi oleh politik maka konflik yang terjadi atas adanya politisasi dan kriminalisasi tidak akan kunjung selesai.
3. Analisa dan Upaya Pencegahan politisasi dan kriminalisasi yang sudah terjadi di dalam penegakan hukum di Indonesia
Adanya politisasi dan kriminalisasi yang sudah terjadi akhir-akhir ini, sepertinya memang sangat mempengaruhi proses penegakan hukum di Indonesia. Yang seharusnya pelaku tindak pidana yang telah masuk dalam kategori suatu tindakan kriminal haruslah mendapatkan hukuman atau menaati tentang adanya kepastian hukum yang berlaku. Jikalau memang dalam penegakan hukum masih selalu terintervensi oleh adanya politisasi maka selamanya hukum di negara Indonesia belumlah dapat memposisikan dirinya seagai suatu yang plaing tinggi dalam sistem hukum ketatanegaraan. Dalam pnegakan hukum dimana para penegak hukum harus tegas dalam menjalankan tugas-tugasnya. Dalam penegakan hukum haruslah terlebih dahulu mementingkan kejujuran dan keadilan bagi para pencari keadilan daripada mementingkan kepentingan pribadi.
Bolak balik seperti halnya konflik antara POLRI dan KPK dimana Presiden selaku pimpinan negara harus benar-benar tegas dalam mengambil suatu pilihan. Jikalau memang benar diantara ke-2 (dua) lembaga yang sedang konflik salah satu diantara mereka benar-benar melakukan suatu kriminalisasi maka harus secepatnya di tindak secara hukum. sehingga kebenaran atau kesalahan akan bisa dilihat setelah adanya kepasian hukum.
Melihat adanya politisasi dan kriminalisasi yang selalu berkaitan dalam penegakan hukum di Indonesia maka perlu adanya suatu upaya untuk mencegah terjadinya politisasi dan kriminalisasi. Terutama yang perlu diperhatikan adalah mengenai netralitas lembaga-lembaga negara yang bertugas menegakkan hukum di Indonesia haruslah terbebas dari adanya intervensi-intervensi politik. Bahwa mengenai permasalahan-permasalahan hukum tentang maraknya kriminalisasi haruslah dibuktikan terlebih dahulu. sehingga dalam penegakan hukum di Indonesia tidak ada sangkut pautya dengan adanya politisasi. Seperti yang dijelaskan oleh Presiden Joko Widodo akhir-akhir ini mengenai konflik POLRI dan KPK yakni “jangan sampai ada upaya kriminalisasi atas ketegangan konflik yang terjadi.

BAB III
PENUTUP
 A. Kesimpulan
Dari pembahasan yang telah diuraikan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa Politisasi dan Kriminalisasi dalam penegakan hukum di Indonesia saat ini yang sudah terlihat jelas bahwa penegakan hukum di Indonesia masih diintervensi oleh adanya politisasi dikalangan elit peguasa disamping itu netralitas lembaga-lembaga penegak hukum belumlah terlihat jelas oleh masyarakat. Karena dengan adanya konflik mengenai politisasi dan kriminalisasi yang masih memanas, masyarakat masih beranggapan bahwa adanya kriminalisasi yang sedang terjadi pada saat ini pasti ada keterkaitan dengan sistem politik yang ada. Adanya Politisasi dan Kriminalisasi sebenarnya berawal dari permasalahan-permasalahan pribadi hingga ke permasalahan institusi, berawal dari politisasi antar individu-individu akhirnya mencuat pada permasalahan institusi yang mengakibatkan suatu tindakan-tindakan ke arah kriminalisasi, karena dalam proses penerapan politik yang sudah dijalani hanya mengarah pada hal-hal negatif semata.
B. Saran
  1. Dalam penegakan hukum haruslah terlebih dahulu mementingkan kejujuran dan keadilan bagi para pencari keadilan daripada mementingkan kepentingan pribadi.
  2. Upaya untuk mencegah politisasi dan kriminalisasi haruslah selalu memegang teguh prinsip penegakan hukum yang menjungjung tinggi nilai-nilai keadilan.
  3. Netralitas lembaga penegak hukum harus terbebas dari adanya unsur muatan politik.


DAFTAR PUSTAKA
 Ebta Setiawan, 2012-2015, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), (Online), (http://kbbi.web.id/politisasi), Diakses 15 Februari 2015.
Faqih Irfan Djailani, 2012, Politik dan Politisasi Hetero-indo, (Online), (http://heterogenindonesiaku.blogspot.com/2012/03/politik-dan-politisasi.html), diakses 15 Februari 2015.
Harian Analisa, 2015, Sepakat Dengan Jokowi, Fadli Zon : Jangan Ada Kriminalisasi dan Politisasi, Analisa Daily, (Online), (http://demo.analisadaily.com/terkini/news/sepakat-dengan-jokowi-fadli-zon-jangan-ada-kriminalisasi-dan-politisasi/102348/2015/01/26), Diakses 15 Februari 2015.
MDMahfud, Politik Hukum Di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, Cet. Ke-6, 2014.
Surahman, 2012, Kriminalisasi dan Dekriminalisasi, Inspirasi Hidup, (Online), (http://surahman-inspirasihidup.blogspot.com/2012/03/kriminalisasi-dan-dekriminalisasi.html) diakses 15 Februari 2015.
[1]Ebta Setiawan, 2012-2015, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), (Online), (http://kbbi.web.id/politisasi), Diakses 15 Februari 2015.
[2] Ibid.,
[3]Surahman, 2012, Kriminalisasi dan Dekriminalisasi, Inspirasi Hidup, (Online), (http://surahman-inspirasihidup.blogspot.com/2012/03/kriminalisasi-dan-dekriminalisasi.html) diakses 15 Februari 2015.
[4] MD Mahafud, Politik Hukum Di Indonesia, PT. Raja Grafindo, Jakarta, Cet. Ke-6, 2014, Hlm. 9