Oleh : Dina Aprilianti
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Mengetahui pilar-pilar
ketatanegaraan di Indonesia dalam negara demokrasi yang esensial salah satunya
yaitu menyangkut tentang sistem peradilan. Akan tetapi sampai saat ini sistem
peradilan di Indonesia masih dihadapkan pada sejumlah masalah walaupun berbagai
pembenahan dan/atau perbaikan sudah sering dilakukan. Perbaikan sistem yang
sudah pernah dilakukan belumlah memberikan jawaban yang memuaskan bagi para
pencari keadilan. Sejumlah masalah yang muncul dalam proses peradilan
menunjukkan realitas dari sistem peradilan di Indonesia yang kian karut marut.
Sepertihalnya dalam sistem peradilan pidana yang posisinya sedang dalam upaya
penyelesaian atau menangani suatu tindak kejahatan yang merupakan pelanggaran
hukum positif diharapkan dapat menghukum atau membebaskan seseorang dari
ancaman tindak pidana. Akan tetapi dalam sistem peradilan pidana belum dapat
dinyatakan adil bagi korban dari suatu tindak kejahatan yang terjadi, kedudukan
korban dalam sistem peradilan pidana kurang diperhatikan karena di dalam sistem
peradilan pidana cenderung berorientasi pada pelaku dan tindak pidananya
sedangkan kedudukan korban kurang diperhatikan.
Lain dari itu dalam kasus-kasus
yang akhir-akhir ini marak terjadi telah memperlihatkan pada semua kalangan
masyarakat bahwa sistem peradilan pidana di Indonesia masih belum bisa
memberikan suatu kepastian hukum yang mengedepankan rasa keadilan bagi semua
orang. Hal tersebut bisa kita lihat dan analisis pada kasus seorang nenek-nenek
yang mempunyai nama panggilan mbah minah yang didakwa telah mencuri 3 (tiga)
buah kakao milik majikannya, yang mana jikalau pada waktu itu Mejelis hakim
dalam mengadili mbah minah menjatuhkan hukuman yang sesuai dengan aturan hukum
yang berlaku di Indonesia mungkin mbah minah akan mendekam dalam penjara dan
hal tersebut dalam kepastian hukumnya sudah tidak lagi mengesampingkan rasa
keadilan maupun perikemanusiaan.
Mungkin dalam kasus lain masih
banyak contoh dimana memang dalam sistem peradilan pidana di Indonesia masihlah
jauh seperti apa yang diharapkan oleh masyarakat indonesia dalam hal menjunjung
tinggi nilai-nilai keadilan dan memberi perlindungan atas hak asasi manusia.
Sehingga melihat apa yang telah dipaparkan diatas mengenai sistem peradilan
pidana di Indonesia, maka dalam hal ini perlu adanya prospek pendekatan
keadilan restoratif (restorative justice). Karena dalam pendekatan
keadilan restoratif bisa diasumsikan sebagai pergeseran paling mutakhir dari
berbagai model dan mekanisme yang bekerja dalam sistem peradilan pidana dalam
menangani perkara-perkara pidana pada saat ini.
Bahwa prospek pendekatan
keadilan restoratif merupakan sebuah konsep pemikiran yang merespon
pengembangan sistem peradilan pidana dengan menitikberatkan pada kebutuhan
pelibatan masyarakat dan/atau korban yang dirasa tersisihkan dengan mekanisme
yang bekerja pada sistem peradilan pidana yang ada pada saat ini. Dipihak lain,
pendekatan keadilan restoratif juga merupakan suatu kerangka berfikir yang baru
yang dapat digunakan dalam merespon suatu tindak pidana bagi penegak dan
pekerja hukum di Indonesia.
Penanganan perkara pidana dengan
pendekatan keadilan restoratif menawarkan pandangan dan pendekatan berbeda
dalam memahami dan menangani suatu tindak pidana. Dalam pandangan keadilan
restoratif makna tindak pidana pada dasarnya sama seperti pandangan hukum
pidana pada umumnya yaitu serangan terhadap individu dan masyarakat serta
hubungan kemasyarakatan. Akan tetapi dalam pendekatan keadilan restoratif,
korban utama atas terjadinya suatu tindak pidana bukanlah negara, sebagaimana
dalam sistem peradilan pidana yang sekarang ada. Oleh karenanya kejahatan
menciptakan kewajiban untuk membenahi rusaknya hubungan akibat terjadinya suatu
tindak pidana. Sementara keadilan dimaknai sebagai proses pencarian pemecahan
masalah yang terjadi atas suatu perkara pidana dimana keterlibatan korban,
masyarakat dan pelaku menjadi penting dalam usahaperbaikan, rekonsiliasi dan
penjaminan keberlangsungan usaha perbaikan tersebut.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar
belakang di atas, maka penulis merumuskan permasalahan yang menjadi topik
pembahasan dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
- Bagaimana prospek pendekatan keadilan restoratif bagi masyarakat?
- Bagaimana upaya penyelsaian perkara melalui pendekatan keadilan restoratif?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Prospek
Pendekatan Keadilan Restoratif Bagi Masyarakat
Peluang untuk melakukan
pendekatan terhadap keadilan restoratif sebenarnya merupakan suatu pendekatan
yang lebih menitik beratkan pada kondisi terciptanya keadilan dan/atau
keseimbangan bagi masyarakat. Keadilan restoratif merupakan sebuah pendekatan
untuk membuat pemindahan dan pelembagaan menjadi sesuai dengan keadilan. Di
dalam rumusan sila kedua dan sila kelima Pancasila, terdapat kata “keadilan”
yang menunjukkan bahwa memang keadilan itu harus ditegakkan dan dijunjung
tinggi. Penegakan keadilan dalam kehidupan bermasyarakat memiliki arti penting
dalam salah satu upaya membangun peradaban bangsa yang tinggi dan bermartabat.
Tidak akan maju peradaban dari suatu bangsa apabila tidak didasarkan atas peri
kehidupan berkeadilan. Disinilah hukum berfungsi sebagai pelindung kepentingan
manusia, menciptakan ketertiban dan keseimbangan sehingga tercapailah keadilan
yang diharapkan.
Keadilan restoratif (Restorative
Justice) dapat diartikan sebagai pemulihan keadilan bagi korban dan pelaku
tindak pidana. Pengertian ini berkembang setelah dimasukkan dalam sistem
peradilan pidana, sehingga pengertiannya menjadi proses penyelesaian yang
sistematis atas tindak pidana yang menekankan pada pemulihan atas kerugian
korban dan atau masyarakat sebagai akibat perbuatan pelaku. Dalam proses
penyelesaian ini melibatkan korban dan pelaku secara langsung dan aktif.
Menurut Artidjo Alkostar, Restorative justice adalah “metode pemulihan
yang melibatkan pelaku kejahatan, korban dan komunitasnya di dalam proses
pemidanaan dengan memberi kesempatan kepada pelaku untuk menyadari kesalahannya
dan bertobat sehingga pelaku dapat kembali kedalam kehidupan komunitasnya
kembali”[1]. Dalam penegakan keadilan belum mencapai
cita-cita keadilan bagi para pihak, terutama korban dari suatu tindak
kejahatan. Kegagalan menegakkan keadilan disebabkan oleh beberapa hal:
- Perlakuan yang tidak adil, beberapa perlakuan tersebut diantaranya penahanan dan penangkapan tanpa alasan kuat, pemaksaan pengakuan, pemalsuan bukti-bukti forensik, pembelaan hukum oleh para penasehat hukum dibawah standar profesi, atau kesesatan hakim yang terlanjur membebaskan terdakwa karena kesalahan teknis.
- Peraturan hukum yang tidak adil, semata-mata demi kepastian hukum
- Tindakan adanya pembenaran faktual dalam penerapan pidana dan tindakan akibat kesalahan identitas atau pemidanaan terhadap orang yang tidak bersalah, akibat kesalahan dalam sistem pembuktian.
- Perlakuan yang merugikan dan tidak proposional terhadap tersangka, terdakwa, dan terpidana, dibandingkan dengan kebutuhan untuk melindungi hak-hak orang lain.
- Hak-hak orang lain tidak dilindungi secara efektif dan proposional oleh negara.
- Perlakuan tidak adil terhadap korban akibat hukum yang tidak kondusif[2].
Keadilan
restoratif (restorative justice) itu sendiri memiliki makna keadilan
yang merestorasi. Di dalam proses peradilan pidana konvensional dikenal adanya
restitusi atau ganti rugi terhadap korban, sedangkan restorasi memiliki makna
yang lebih luas. Restorasi meliputi pemulihan hubungan antara pihak korban dan
pelaku. Pemulihan hubungan ini bisa didasarkan atas kesepakatan bersama
antara korban dan pelaku. Pihak korban dapat menyampaikan mengenai kerugian
yang dideritanya dan pelaku pun diberi kesempatan untuk menebusnya, melalui
mekanisme ganti rugi, perdamaian, kerja sosial, maupun kesepakatan-kesepakatan
lainnya. Karena proses pemidanaan konvensional tidak memberikan ruang
kepada pihak yang terlibat, dalam hal ini korban dan pelaku untuk
berpartisipasi aktif dalam penyelesaian masalah mereka. Setiap indikasi
tindak pidana, tanpa memperhitungkan eskalasi perbuatannya, akan terus
digulirkan ke ranah penegakan hukum yang hanya menjadi jurisdiksi para penegak
hukum. Partisipasi aktif dari masyarakat seakan tidak menjadi penting lagi,
semuanya hanya bermuara pada putusan pemidanaan atau punishment tanpa
melihat esensi[3].
Tujuan
dari keadilan restoratif adalah mendorong terciptanya peradilan yang adil dan
mendorong para pihak untuk ikut serta didalamnya. Korban merasa bahwa
penderitaannya di perhatikan dan kompensasi yang disepakati seimbang dengan
penderitaan dan kerugian yang dideritanya. Pelaku tidak mesti mengalami
penderitaan untuk dapat menyadari kesalahannya. Justru dengan kesepakatan untuk
mengerti dan memperbaiki kerusakan yang timbul, kesadaran tersebut dapat
diperolehnya. Semenntara bagi masyarakat, adanya jaminan keseimbangan dalam
kehidupan dan aspirasi yang ada tersalurkan oleh pemerintah. Tujuan utama restorative
justice adalah memberdayakan korban, dimana pelaku didorong agar
memperhatiakan pemulihan. Keadilan restoratif mementingkan terpenuhinya
kebutuhan material, emosional, dan sosial sang korban. Keberhasilan keadilan
restoratif, diukur oleh sebesar apa kerugian yang telah dipulihkan pelaku,
bukan diukur oleh seberat apa pidana yang dijatuhkan hakim. Intinya, sedapat
mungkin pelaku dikeluarkan dari proses pidana dan dari penjara[4].
Munculnya
sebuah ide restorative justice sebagai kritik atas penerapan sistem
peradilan pidana dengan pemenjaraan yang dianggap tidak efektif menyelesaikan
konflik sosial. Penyebabnya, pihak yang terlibat dalam konflik tersebut tidak
dilibatkan dalam penyelesaian konflik. Korban tetap saja menjadi korban, pelaku
yang dipenjara juga memunculkan persoalan baru bagi keluarga dan sebagainya.
Ciri yang menonjol dari restorative justice, kejahatan ditempatkan
sebagai gejala yang menjadi bagian tindakan sosial dan bukan sekadar
pelanggaran hukum pidana. Kejahatan dipandang sebagai tindakan yang merugikan
orang dan merusak hubungan sosial. Berbeda dengan hukum pidana yang telah
menarik kejahatan sebagai masalah negara. Hanya negara yang berhak menghukum,
meskipun sebenarnya komunitas adat bisa saja memberikan sanksi. Sistem
pemenjaraan sebagai pelampiasan kebencian masyarakat yang diterima dan
dijalankan negara. Munculnya ide restorative justice karena proses
pidana belum memberikan keadilan pada korban. Usaha ke arah restorative
justice sebenarnya sudah ada di lembaga pemasyarakatan, meskipun masih
belum menonjol. Penerapan itu misalnya, menempatkan masa pembinaan sebagai
ajang menyetarakan kembali hubungan narapidana dan korban[5].
Proses keadilan restoratif pada
dasarnya merupakan upaya pengalihan dari proses peradilan pidana menuju
penyelesaian secara musyawarah, yang pada dasarnya merupakan jiwa dari bangsa
Indonesia, untuk menyelesaikan permasalahan dengan cara kekeluargaan untuk
mencapai mufakat. Keadilan restoratif merupakan langkah pengembangan upaya
non-penahanan dan langkah berbasis masyarakat bagi anak yang berhadapan dengan
hukum. Keadilan restoratif dapat menggali nilai-nilai dan praktek-praktek positif
yang ada di masyarakat yang sejalan dengan penegakan hak asasi manusia.
Pendekatan keadilan restoratif dalam penanganan tindak pidana juga bertujuan
untuk menghindarkan pelakunya dari proses pemidanaan yang terkadang dirasakan
belum dapat mencerminkan nilai-nilai keadilan. Dalam upaya penegakan hukum
pidana, semestinya bukan hanya akibat tindak pidana itu yang menjadi fokus
perhatian, tetapi satu hal penting yang tidak boleh diabaikan adalah faktor
yang menyebabkan seseorang melakukan tindak pidana. Sasaran dari proses
peradilan pidana menurut perspektif keadilan restoratif adalah menuntut
pertanggung jawaban pelanggar terhadap perbuatan dan akibat-akibatnya, yakni
bagaimana merestorasi penderitaan orang yang terlanggar haknya (korban) seperti
pada posisi sebelum pelanggaran dilakukan atau kerugian terjadi, baik aspek
materiil maupun aspek immateriil.
B. Upaya Penyelsaian
Perkara Melalui Pendekatan Keadilan Restoratif
Proses penyelesaian perkara,
keadilan restoratif tidak lagi menggunakan cara-cara konvensional yang selama
ini digunakan dalam sistem peradilan pidana, yang hanya berfokus pada mencari
siapa yang benar dan siapa yang salah, serta mencari hukuman apa yang pantas
diberikan kepada pihak yang bersalah tersebut. Sementara dalam penyelesaian perkara
melalui restorative justice bukan lagi kedua hal tersebut, yang
diinginkan oleh restorative justice adalah sebuah pemulihan terhadap
pelaku agar ia tidak lagi melakukan kejahatan, pemulihan turut pula ditujukan
kepada korban sebagai pihak yang dirugikan serta hubungan antar korban, pelaku
serta masyarakat agar jalannya kehidupan dapat kembali seperti semula. Keadilan
Restoratif, melibatkan kedua pihak yaitu korban dan pelaku dan berfokus pada
kebutuhan pribadi mereka. Selain itu, juga memberikan suatu bentuk bantuan bagi
pelaku untuk menghindari pelanggaran di masa depan. Hal ini didasarkan pada
sebuah teori keadilan yang menganggap kejahatan dan pelanggaran menjadi
pelanggaran terhadap individu atau masyarakat, bukan negara. Keadilan
Restoratif yang mendorong dialog antara korban dan pelaku menunjukkan tingkat
tertinggi kepuasan korban dan akuntabilitas pelaku.
Dalam proses acara pidana
konvensional misalnya apabila telah terjadi perdamaian antara pelaku dan
korban, dan sang korban telah memaafkan sang pelaku, maka hal tersebut tidak
akan bisa mempengaruhi kewenangan penegak hukum untuk terus meneruskan perkara
tersebut ke ranah pidana yang nantinya berujung pada pemidanaan sang pelaku
pidana. Proses formal pidana yang makan waktu lama serta tidak memberikan
kepastian bagi pelaku maupun korban tentu tidak serta merta memenuhi maupun
memulihkan hubungan antara korban dan pelaku, konsep restorative justice
menawarkan proses pemulihan yang melibatkan pelaku dan korban secara langsung
dalam penyelesaian masalahnya. Proses pidana konvensional hanya menjadikan
korban nantinya sebagai saksi dalam tingkat persidangan yang tidak banyak
mempengaruhi putusan pemidanaan, tugas penuntutan tetap diberikan terhadap
Jaksa yang hanya menerima berkas-berkas penyidikan untuk selanjutnya diolah
menjadi dasar tuntutan pemidanaan, tanpa mengetahui dan mengerti kondisi
permasalahan tersebut secara riil, dan sang pelaku berada di kursi pesakitan
siap untuk menerima pidana yang akan dijatuhkan kepadanya.
Kewenangan untuk menyampingkan
perkara pidana itu sendiri dikenal sebagai perwujudan asas oportunitas yang
hanya dimiliki oleh Jaksa Agung. Dalam praktiknya pun sebenarnya di tingkat
penyidikan kepolisian sering terbentur dengan tata acara pidana formil apabila
hendak mengesampingkan sebuah perkara pidana, diskresi yang dimiliki oleh
polisi tidak melingkupi kewenangannya untuk menilai sebuah perkara untuk terus
dilanjutkan atau dihentikan, takarannya hanya terbatas pada bukti tindak pidana
yang cukup. Apabila ada bukti telah terjadi sebuah tindak pidana, polisi akan
terus meneruskan perkara tersebut. Oleh karena itu di dalam RUU KUHAP yang
terbaru perlu didorong pendekatan penanganan tindak pidana yang lebih humanis,
lebih menekankan dan mendahulukan pendekatan restorative justice
dibandingkan pertimbangan legalistik yang formil.
Sasaran akhir konsep peradilan
restorative ini mengharapkan berkurangnya jumlah tahanan di dalam penjara;
menghapuskan stigma / cap dan mengembalikan pelaku kejahatan menjadi manusia
normal, pelaku kejahatan dapat menyadari kesalahannya, sehingga tidak
mengulangi perbuatannya serta mengurangi beban kerja polisi, jaksa, rutan,
pengadilan, dan lapas; menghemat keuangan negara tidak menimbulkan rasa dendam
karena pelaku telah dimaafkan oleh korban, korban cepat mendapatkan ganti
kerugian; memberdayakan masyarakat dalam mengatasi kejahatan dan;
pengintegrasian kembali pelaku kejahatan dalam masyarakat.
Istilah “penyelesaian di luar
pengadilan” umumnya dikenal sebagai kebijakan yang dilakukan oleh aparat
penegak hukum yang memiliki wewenang untuk melakukan beberapa hal sebagai
berikut: sebagai penentu keluaran akhir dari suatu kasus sengketa, konflik,
pertikaian atau pelanggaran, namun juga memiliki wewenang melakukan diskresi /
pengenyampingan perkara pidana yang dilakukan oleh pihak tertentu, dilanjutkan
dengan permintaan kepada pelaku / pelanggar agar mengakomodasi kerugian korban.
Istilah umum yang populer adalah dilakukannya “perdamaian” dalam perkara
pelanggaran hukum pidana.
Keuntungan dari penggunaan
“penyelesaian di luar pengadilan” dalam menyelesaikan kasus-kasus pidana adalah
bahwa pilihan penyelesaian pada umumnya diserahkan kepada pihak pelaku dan
korban. Keuntungan lain yang juga amat menonjol adalah biaya yang murah.
Sebagai suatu bentuk pengganti sanksi, pihak pelaku dapat menawarkan kompensasi
yang dirundingkan / disepakati dengan pihak korban. Dengan demikian, keadilan
menjadi buah dari kesepakatan bersama antar para pihak sendiri, yaitu pihak
korban dan pelaku, bukan berdasarkan kalkulasi jaksa dan putusan hakim.
Sedangkan kelemahan dari penggunaan “penyelesaian di luar pengadilan”, dapat
menjadi sumber penyalahgunaan wewenang dari para penegak hukum, khususnya
apabila diskresi dibelokkan menjadi ”komoditi”. Ketidakmauan menghukum juga
dapat dipersepsi sebagai melunaknya hukum dimata para pelaku kejahatan atau
pelanggar aturan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian pembahasan
diatas dapat disimpulkan, bahwa konsep pendekatan keadilan restoratif sangatlah
ideal, implementasi di Indonesia yang harus dilihat ulang. Konsep peradilan
dengan pendekatan keadilan restoratif ketika akan diimpelementasikan di
Indonesia butuh kesiapan badan atau instansi sebagai perangkat pelaksananya
yang menjalankannya termasuk perspektif SDM di dalamnya. Pendekatan keadilan
restoratif dilakukan melalui mekanisme diversi, dimana adanya proses upaya
perdamaian antara kedua belah pihak antara pelaku dengan korban. Konsep ini
sebaiknya tidak diterapkan kepada semua perkara. Setiap perkara memiliki
keunikan maka penyelesaiannyapun sebaiknya juga memperhatikan keunikan
tersebut.
B. Saran
- Pendekatan keadilan restoratif dalam sistem peradilan pidana di Indonesia harus mengedepankan KEADILAN BAGI SEMUA. Maka untuk kasus-kasus tertentu (Kekerasan seksual, penyalahgunaan Napza, terorism, dan pembunuhan) sebaiknya diversi dihindari.
- Dalam sistem peradilan pidana di Indonesia dalam kepastian hukum haruslah selalu bersandingan dengan rasa keadilan. Karena mengingat asas ada 3 yakni : Kadilan, kepastian hukum dan manfaat.
DAFTAR PUSTAKA
Fitriasih, Surastini, et. all., Akses ke
Peradilan, Jakarta, Sentra Ham-KHN, 2002.
Muladi, Hak Asasi Manusia, Politik, dan
Sistem Peradilan Pidana, Semarang, BP. Universitas Diponegoro, 2002.
Nasution Ajarotni, 2013, Perlindungan Hak
Asasi Manusia dan Restorative Justice, (Online), (http://ajarotninasution.blogspot.com/2013/09/perlindungan-hak-asasi-manusia-dan.html),
diakses pada 25 Februari 2015.
Singgih Benedictus, 2012, Keadilan Restoratif
Menurut Perspektif Viktimologi, (Online), (http://benedictussinggih.blogspot.com/2012/12/keadilan-restoratif-menurut-perspektif.html),
diakses pada 25 Februari 2015.
Tengens Jecky, 2011, Pendekatan Restorative
Justice dalam Sistem Pidana Indonesia, (Online),(http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4e25360a422c2/pendekatan-irestorative-justice-i-dalam-sistem-pidana-indonesia-broleh–jecky-tengens–sh-),
diakses pada 25 Februari 2015.
Utomo Setyo, Sistem Pemidanaan Dalam Hukum
Pidana Yang Berbasis Restorative Justice, (makalah disampaikan dalam
kegiatan Focus Group Discussion (FGD) tentang “POLITIK PERUMUSAN ANCAMAN PIDANA
DALAM UNDANG-UNDANG DILUAR KUHP”, diselenggarakan oleh Pusat Perencanaan Pembangunan
Hukum Nasional Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Departement Hukum dan HAM)
Jakarta, 2010.
[1] Nasution Ajarotni, 2013, Perlindungan
Hak Asasi Manusia dan Restorative Justice, (Online),(http://ajarotninasution.blogspot.com/2013/09/perlindungan-hak-asasi-manusia-dan.html),
diakses pada 25 Februari 2015.
[2] Muladi, Hak Asasi Manusia, Politik, dan
Sistem Peradilan Pidana, Semarang, BP. Universitas Diponegoro, 2002, Hlm.
274.
[3] Tengens Jecky, 2011, Pendekatan
Restorative Justice dalam Sistem Pidana Indonesia, (Online),(http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4e25360a422c2/pendekatan-irestorative-justice-i-dalam-sistem-pidana-indonesia-broleh–jecky-tengens–sh-),
diakses pada 25 Februari 2015.
[4] Singgih Benedictus, 2012, Keadilan
Restoratif Menurut Perspektif Viktimologi, (Online), (http://benedictussinggih.blogspot.com/2012/12/keadilan-restoratif-menurut-perspektif.html),
diakses pada 25 Februari 2015.
[5] Utomo Setyo, Sistem Pemidanaan Dalam
Hukum Pidana Yang Berbasis Restorative Justice, (makalah disampaikan dalam
kegiatan Focus Group Discussion (FGD) tentang “POLITIK PERUMUSAN ANCAMAN PIDANA
DALAM UNDANG-UNDANG DILUAR KUHP”, diselenggarakan oleh Pusat Perencanaan
Pembangunan Hukum Nasional Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Departement
Hukum dan HAM) Jakarta, 2010.